Jumat, 08 September 2017

Mengapa Nestapa Jadi Guru Honorer! Ini Alasannya

style='display:block; text-align:center;'/>
Beberapa hari yang lalu saat saya sedang kontrol ke dokter gigi langganan, saya bertemu dengan seorang mbak-mbak yang belakangan kemudian saling bercakap dengan saya. Saat saya tanya apa ia sudah kerja, ia menjawab bahwa “Iya, saya berjuang mbak di SD X”. Kalau Anda familiar dengan dunia pendidikan, maka Anda akan langsung paham bahwa yang dimaksud berjuang ialah menjadi guru honorer.

Mengapa kebanyakan menggunakan istilah “berjuang”? Tentu ada alasannya. Alasan utama ialah karena profesi ini memang profesi yang banyak diisi kawula muda yang ingin “berjuang” menjadi guru PNS. Dan jangan dikira sifat “mau jadi PNS” ini adalah sebuah bentuk kemalasan. Bukan.

Ribuan mahasiswa pendidikan diluluskan setiap tahun, dan mereka memang dididik untuk menjadi guru. Beberapa bisa saja menguasai keterampilan yang lain, tapi apa yang mereka selama ini pelajari ialah menjadi pengajar. Dengan demikian, ketika lulus pun sudah pasti mereka akan lari ke berbagai profesi pengajar. Karena yang tersedia kebanyakan guru honorer, maka mereka pun terpaksa berjuang dengan gaji begitu minim.

Bagaiamana dengan bimbel? Yang saya tahu, banyak teman-teman lulusan pendidikan yang selain bekerja sebagai HR juga ikut mengajar les via bimbel. Justru penghasilan dari bimbel ini biasanya lebih tinggi. Meski untuk masa depan yang lebih “cerah”, bimbel tak menawarkan apa-apa.

Nasib ini kian menjengkelkan ketika pemerintah dengan seenak perutnya membolehkan sarjana semua jurusan menjadi guru. Bukan persoalan “mencuri lahan orang” ya… tapi buat apa ada jurusan pendidikan kalau pada akhirnya semua orang bebas menjadi guru? Kan lebih baik dibubarkan saja itu jurusan…

Pandangan masyarakat soal guru honorer juga sama sekali tak membantu. Begitu pun media. Saya jamak mendengar ejekan bahwa sebaiknya jangan memilih jadi honorer kalau harus demo minta status PNS…

Lah… sekarang logikanya di balik saja. Siapa sih orangtua waras yang mau mendidik anaknya via tangan seorang manusia yang digaji 100 ribu per bulan? Kalau saya punya anak, saya tidak akan pernah mau menyekolahkan anak saya di mana gurunya di gaji di bawah UMR. Bukannya saya tak percaya pada si guru. Tapi kondisi guru yang mengenaskan itu rentan menyebabkan pendidikan yang diterima anak saya tidak berkualitas.

Sayangnya kenyataan memang tidak seindah imajinasi saya. Mau saya ngotot seperti itu pun, hampir semua sekolah yang ada di Indonesia pasti menghire jasa guru honorer. Kenapa? Ya karena jumlah guru memang kurang. Apalagi di luar Jawa sana.

nasib menjadi Guru Honorer

Makanya saya sangat heran kalau ada yang enek liat para honorer minta status PNS. Faktanya, jumlah guru memang kurang makanya hr sangat dibutuhkan. Kalau para HR ini digaji demikian rendah, apa jadinya pendidikan Indonesia? Tak paham saya dengan nalar pemerintah yang ingin pendidikan Indonesia berkualitas tapi masih membiarkan dan bahkan menggunakan praktik eksploitatif pada para pendidiknya.

0 komentar:

Posting Komentar