Kamis, 15 Februari 2018

Mari Membandingkan Gaji Guru dengan Gaji Buruh?

style='display:block; text-align:center;'/>
Saya merasa bersalah bahwa pada banyak tulisan yang lampau, saya sering membandingkan gaji guru dengan gaji buruh. Seolah guru itu lebih mulia dari buruh. Nope, itu adalah pemikiran yang sangat picik. Tapi alhamdullilah saya pada akhirnya sadar atas kekeliruan konyol tersebut.

jangan Membandingkan Gaji Guru dengan Gaji Buruh

Saya kira justru dalam hal ini guru dan buruh punya nasib yang serupa. Baik guru dan buruh adalah mereka yang punya kontribusi besar dalam bidangnya masing-masing tapi hampir selalu diabaikan oleh mereka yang memperkerjakannya. Buruh punya peran sangat penting dalam ekonomi negara. Dari tangannya, mereka bisa menghasilkan berbagai barang yang bila dijual angkanya dapat berkalilipat dari jumlah gajinya sebulan. Luar biasa bukan?

Sedangkan guru merupakan seorang penyedia jasa untuk keuntungan jangka panjang. Guru memang tidak menghasilkan aneka produk, tapi ia bisa menghasilkan para siswa yang akan menjadi generasi penerus bangsa di masa depan.

Baik guru dan buruh sama-sama menderita karena mereka dibayar jauh di bawah kontribusinya. Contoh untuk buruh… Katakanlah skenario buruh yang bekerja membuat sepatu hand made branded internasional. Dalam sehari, ia mampu merampungkan 3 buah sepatu yang bila dijual satu pasangnya bisa mencapai 1 juta rupiah. Tapi berapa gaji yang ia dapat sebulan? Paling-paling cuma 3 juta untuk UMR setinggi di Jakarta. Kalau perusahaan tersebut punya 20 buruh saja, maka labanya sehari bisa 60 juta Angka itu kebanyakan lari ke tangan bos yang meski tak bekerja bisa mendapat untung. Semuanya karena masalah MODAL. Tidak ada prinsip bagi hasil yang lebih adil. Tiba-tiba karena seseorang punya modal, ia bebas tak bekerja tapi mendapat UNTUNG PALING BESAR.

ketidakadilan dalam kapitalisme

Kemampuan buruh dirampok dan diremehkan seolah apa yang dikerjakannya demikian sepele. Benarkah itu? Tentu saja tidak. Seorang desainer kelas kakap pun memerlukan tenaga buruh untuk menghasilkan barang yang benar-benar nyata. Tapi kenapa masyarakat kita “mengizinkan” desainer dibayar jauh lebih mahal? Dia memang punya “ide”. Tapi apakah idenya bisa terwujud bila tak dikerjakan? Baik ide maupun kerja kasar itu SAMA pentingnya. Lagipula justru nanti kerja kasar yang menentukan kualitas barang, baik dari detilnya hingga kualitas lainnya secara umum.

Dan dalam kasus Indonesia sebagai negara berkembang, justru adanya buruh ini maka investor tertarik masuk. Para pemodal tersebut ingin memperoleh profit besar sehingga memindahkan pabrik mereka dari Eropa yang gaji buruhnya tinggi ke Asia yang gaji buruhnya sangat rendah. Jadi, biarpun gaji buruh sudah UMR, sebenarnya mereka menghadapi eksploitasi yang mengerikan meski memang tak semengerikan guru honorer.

Sampai sekarang saya masih tak paham kenapa bisa ada pekerjaan yang dilakukan di lembaga pendidikan milik pemerintah yang menggaji karyawannya demikian kecil. Para honorer tersebut, punya gaji UMR saja pasti sudah akan sangat gembira. Sebab selama ini, gaji guru honorer sangat rendah mulai dari 100 ribu hingga biasanya 500 ribuan. Jelas saja tanpa ada pekerjaan sampingan mereka tak bisa melakukan apa-apa.

Tapi back to topic, kembali lagi yang harus diingat… bahwa baik guru honorer maupun buruh adalah kelompok yang sama-sama menderita… kelompok yang sama-sama diacuhkan oleh mereka yang memperkerjakannya. Dalam kondisi ini, sebaiknya baik guru maupun buruh saling merangkul satu sama lain. Bukannya malah membandingkan gaji guru dengan gaji buruh dengan tendensi melihat buruh sebagai PEKERJA RENDAHAN!

0 komentar:

Posting Komentar